DITANGKAP TENTARA BELANDA, 1948
Walaupun di masa
perjuangan, anak-anak di rumah di Jl. Bugisan 5 itu pernah juga dikumpulkan oleh para pelukis dan
diberi bahan-bahan untuk menggambar di halaman kantor. Lukisan anak-anak
dikumpulkan dan dipajang. Beberapa tamu
datang dan melihat lukisan-lukisan itu. Anak-anak merasa gembira dan bangga
bahwa lukisan mereka dilihat para tamu. Pak Soerono menjelaskan lukisan itu
dari segi pemikiran anak-anak kepada para tamu yang datang.
Gambar 1: Para pelukis mengajari anak-anak menggambar di Jl. Bugisan 5 Yogya.
Dalam tahun-tahun yang
penuh ketegangan itu para seniman lukis dan karikaturis berjuang dengan caranya
sendiri yang khas. Di depan Gedung
Negara di Yogya tertera grafiti bagus menurut kaidah lettering yang dibuat dengan kwas dan tatabahasa Inggris yang benar We Don’t Want to be Ruled by Any Other Nations.
Tentulah seorang
seniman yang tak mau dikenal yang membuatnya dan seorang politikus pejuang yang
merahasiakan dirinya yang mendiktekan kalimatnya.
Di Taman Siswa, di Jl. Bintaran Yogya ada percetakan yang
dikerjakan dengan tangan. Mereka para seniman membuat koran dari kertas merang
yang tipis dan mudah robek, isinya
menyemangati perjuangan. Apa boleh buat kertas apa saja dipakai untuk
menggugah semangat perjuangan bangsa. Selain itu sering karikatur-karikatur Pak
Salam diberikan begitu saja untuk Harian Kedaulatan Rakjat, Nasional dan
Patriot yang terbit di Yogya (Blog Arswendo Atmowiloto, Tiga yang Berharga, 19/07/2007).
Pada suatu malam Minggu
seperti biasanya 10 remaja belasan tahun yang menamakan dirinya Anak-anak dari Patangpuluhan menggelar Orkes
Bambu dengan seruling bambu, bas tiup bambu, ukulele, gitar dan ketipung
dengan penyanyi tercantik Isti Karniah. Anak-anak kampung lainnya menjadi
penonton dengan gembira. Mereka tidak pernah menyangka bahwa besok paginya akan
ada peristiwa yang sangat genting bagi negaranya.
Esok harinya pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 7 pagi tentara Belanda
menyerbu dan menduduki Yogyakarta. Inilah yang dinamakan Agresi Militer Belanda
ke-II atau Operatie Kraai.
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Sutan
Sjahrir dan Haji Agus Salim dan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya ditangkap
Belanda dan diasingkan. Pada serangan ini dikerahkan 432 orang dari Korps Speciale Troepen, 2600 orang dari
Grup Tempur M dan 1900 orang dari Grup Tempur T dibawah pimpinan Kapt. Eckhout
menyerang lapangan terbang Meguwo.
Sebanyak 128 orang pasukan Siliwangi dari 150 orang
yang bertugas menjaga lapangan terbang Meguwo, kalah dalam jumlah dan kalah
dalam teknologi persenjataan, gugur. Duapuluh dua lainnya tidak diketahui
nasibnya.
Kalau pada Agresi
Militer Belanda ke-I Belanda melanggar Persetujuan Linggarjati, maka
pada Agresi Militer ke-II ini Belanda melanggar Persetujuan Renville yang diadakan
pada bulan Januari 1948 di kapal Amerika USS Renville.
Pada masa itu saya melihat kartupos Republik dengan
pesan dari Jenderal Sudirman: “Pertahankan kampung dan halaman!”
Pada hari itu juga Panglima Besar Sudirman
memerintahkan Pasukan Siliwangi yang beberapa bulan sebelumnya telah hijrah
dari Jawa Barat ke Yogya, untuk kembali ke daerahnya, sedangkan Jenderal Soedirman yang
sedang sakit paru-paru memimpin gerilya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Hari Senen tanggal 20 Desember 1948 yaitu sehari
sesudah Belanda menyerang Yogya, keluarga Pak Salam, keluarga Soerono, Oesman
Effendi, Soedibjo dan keluarga besar kami mengungsi ke Desa Cebongan masih masuk daerah Yogya di
rumah pegawai bagian administrasi, Pak Kambali yang menawarkan rumahnya untuk
pengungsian.
Keluarga besar kami adalah Bapak, ibu saya, dua adik
saya, Isti dan Yanto, dua pembantu yang tidak sempat pulang ke desanya sehingga
ikut mengungsi bersama kami, yaitu Kasijem dan Jatin. Kakek Wirjo, Bu Suwarti
dan Bu Supiah juga ikut mengungsi.
Keluarga besar Pak Salam adalah Pak dan Bu Salam,
Wibowo, Nani dan seorang pembantu mbok Mbok Hardjo.
Perjalanan ke Cebongan
itu menyiksa saya sebagai anak yang baru berumur delapan tahun karena
panas, haus, lapar dan perjalanan yang jauh.
Perjalanan tidak langsung menuju
Cebongan yaitu kearah utara, tetapi melingkar untuk menghindar dari jalan-jalan
besar yang diduga telah diduduki Belanda.
Di sebelah barat Pingit kami melihat korban serangan
Belanda satu hari sebelumnya yaitu dua orang yang tergeletak di jalan dengan
mobil sedan hitam yang pintunya terbuka. Di sudut jalan seorang ibu membawa
nangka tergelatak mati. Kami belum pernah melihat hal yang mengerikan seperti
itu. Kami cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Siang harinya sekitar jam dua kami sampai di rumah Pak
Kambali di Cebongan.
Gambar 2: Penangkapan Abdulsalam (pelukis), Abdullah Angudi, Osman Effendi (pelukis) dan Soedibio (pelukis) di rumah Pak Kambali, Cebongan.
Tanpa diduga-duga esok harinya empat tentara Belanda bersenjata mitralyur, sten,
karaben dan pistol datang menggerebeg kami. Pak Salam, Usman Effendi, Soedibjo,
dan bapak saya, Abdullah Angudi, ditangkap Tentara Belanda. Kami anak-anak disuruh masuk rumah oleh Tentara Belanda itu.
Pak Soerono, kakek Wirjo dan beberapa orang lainnya tidak tertangkap
karena sedang mandi di sungai dekat rumah yang jembatannya sudah dihancurkan oleh
TNI.
Ketika kami keluar rumah, Tentara Belanda dan tawanan
mereka sudah pergi. Kami tidak tahu
dibawa kemana para tawanan itu. Karena para suami dan laki-laki-dewasa dibawa
tentara Belanda, ibu-ibu dan anak-anaknya dan para pengungsi lainnya, dengan perasaan
gundah, dipimpin oleh Pak Soerono satu-satunya lelaki muda, besok paginya
meninggalkan Cebongan.
Kami melanjutkan perjalanan ke kampung berikutnya yaitu
kampung Kontengan. Pokoknya meninggalkan Cebongan saja. Kami tidak tahu arah tujuannya
dan apa yang akan menimpa.
Ibu saya tidak mempunyai apa-apa kecuali perhiasan emas
yang disimpan dijahit di ikat pinggang wanita (stagen, Jw) sebagai bekal. Di Kontengan kami mendapati beberapa
rumah reyot dengan dinding bambu lapuk yang berlubang sebagai tempat kami
berteduh. Rumah reyot itu adalah gudang tempat penyimpanan gula pasir milik tengkulak. Angin malam bertiup menembus dinding. Udara sangat dingin.
Sementara itu Pak Salam dan Bapak dibawa dengan
truk dari Pabrik Gula Cebongan yang
menjadi markas Belanda ke Rumah Tahanan Ngupasan di belakang Gedung Negara di
kota Yogya. Pada perjalanan diwaktu pagi itu pasukan Belanda tidak diserang oleh gerilyawan TNI.
Selama interogasi berhari-hari dalam tahanan, Belanda
tidak menemukan bukti-bukti bahwa Pak Salam dan Bapak adalah gerilyawan,
sehingga mereka lepas dari nasib yang lebih buruk. Untungnya Belanda juga tidak
mengetahui bahwa Bapak adalah orang yang dicari intel militer IVG di Temanggung
karena melakukan pembumihangusan bersama TNI.
Bisa jadi juga dalam interogasi selama satu minggu itu
Bapak tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang Temanggung, seandainya hal ini
terungkap niscaya Bapak akan dihabisi. Di Ngupasan itu Bapak milihat Walikota Yogyakarta, Bapak Soedarisman Poerwokoesoemo, yang juga ditangkap oleh Belanda.
Sesudah satu minggu Bapak dilepaskan oleh Belanda dan
Bapak berjalan menuju Cebongan mencari kemana kami mengungsi.
Berjalan kaki dari Rumah Tahanan Ngupasan ke luar kota melalui
jalan-jalan yang asing yang belum pernah dilaluinya, sangatlah menakutkan. Tidak
ada orang yang berkerja disawah ataupun lalu lalang. Sialnya dalam perjalanan ke Cebongan
itu, Bapak kepergok tentara Belanda yang sedang patroli di pedesaan. Bapak akan ditawan lagi. Bapak menjelaskan
bahwa Bapak baru dilepas dari Rumah Tahanan Ngupasan. Setelah tentara Belanda
itu menanyakan Rumah Tahanan Ngupasan melalui radio apakah benar ada nama
Angudi yang baru dibebaskan, tentara Belanda itu membolehkan Bapak pergi.
Gambar 3: Tentara Belanda menembak mati Menteri Pembangunan dan Pemuda, Soepeno
Saat seperti itu adalah hal yang mengerikan. Bapak tahu
bahwa adik iparnya, Adi, ditangkap Belanda, disuruh pergi dan ditembak dari belakang.
Dalam masa Perang Kemerdekaan II ini pula, Menteri Pemuda dan Pembangunan, yaitu menteri yang membawahi para pelukis di Jl. Bugisan, tertangkap oleh Tentara Belanda dan ditembak mati. Nama Menteri Soepeno diabadikan sebagai nama jalan di Semarang, Yogyakarta dan kota lainnya.
Bahaya lainnya adalah bahwa gerilyawan Indonesia
mencurigai semua orang yang datang dari kota ke desa sebagai mata-mata Belanda.
Mata-mata Belanda sering ke desa-desa untuk mengetahui pergerakan TNI. Mereka
sering berpura-pura sebagai pedagang kelontong eceran dari kota dan masuk kepasar yang dibuka seminggu sekali.
Sesudah kepergok patroli Belanda, Bapak masuk ke daerah
Republik. Di daerah Republik Bapak ditanya oleh pasukan gerilya yang berjaga di
situ, apa yang Bapak bicarakan dengan tentara Belanda tadi. Rupanya para
gerilyawan mengintai patroli Belanda dari kejauhan. Bapak menjelaskan kepada
TNI bahwa Bapak adalah pengungsi yang tertangkap Belanda di Cebongan dan lalu
dibawa dan ditahan di Rumah Tahanan Ngupasan di kota Yogya, lalu dilepaskan dan
sekarang akan mencari keluarganya.
Pasukan TNI percaya akan keterangan Bapak dan para
gerilyawan membolehkan Bapak untuk
meneruskan perjalanannya mencari kami. Seandainya
TNI tidak percaya dan menganggap keterangan Bapak hanya cerita buatan, Bapak
dapat dengan mudah dihabisi.
Perjalanan dari Ngupasan ke Cebongan, selain berbahaya,
juga tidak melalui jalan-jalan yang biasa dilalui tetapi melalui jalan-jalan
desa yang Bapak belum tahu arahnya. Karena itu Bapak harus bertanya kepada rakyat desa kemana arah
Cebongan, itupun kalau kebetulan ada yang bisa diajak bicara. Semua takut
berhubungan dengan orang asing yang melewati desanya.
Bapak dapat sampai ke Cebongan dengan cara sering bertanya
kepada penduduk desa yang dilewatinya mana arah ke Cebongan. Selain itu juga
menanyakan apakah orang melihat pengungsi dengan ciri-ciri dan jumlah rombongan
kami.
Perintah Jenderal Sudirman kepada Divisi Siliwangi
untuk kembali ke Jawa Barat tidak dapat dilakukan sekaligus dalam waktu yang segera,
karena anggota pasukan Siliwangi yang
berada di Yogya bersama keluarga mereka terpisah-pisah dibanyak
tempat di rumah rakyat dan di gedung-gedung pemerintah sehingga komunikasi
diantara anggotanya untuk menentukan tempat dan waktu berangkat bersama harus dilakukan dari mulut ke mulut
untuk menjaga rahasia. Itulah sebabnya pada bulan Januari 1949 masih ada
sebagian anggota Divisi Siliwangi yang bergerak ke barat walaupun perintah
Jenderal Sudirman dilakukan pada tanggal 19 Desember 1948.
Akhirnya ayah saya dapat menemukan rombongan kami di
kampung Kontengan. Dari Kontengan kami berjalan ke Jumeneng Alit.
Di Jumeneng Alit sore hari, saya berkawan dengan anak
desa seorang gembala kerbau. Ketika kami sedang memandikan kerbau, tiba-tiba
kami berdua berada ditengah pertempuran antara TNI dan Belanda. Kami berlari meninggalkan
kerbau dan berjongkok di tengah rumpun bambu. TNI yang berlarian melompati
kepala kami. Tembakan sahut menyahut. Batang bambu yang terkena peluru patah dan rebah. Ketika
saya pulang saya dimarahi ayah yang kewatir karena saya bermain terlalu jauh.
Bila ada pertempuran yang lebih gawat ada kemungkinan saya terpisah dengan
keluarga, itulah sebabnya Bapak marah.
Di Jumeneng Alit sesudah menginap satu malam, melihat
bahwa pengungsian tidak diketahui sampai kapan akan berakhirnya dan simpanan
bekal menipis, Pak dan Bu Soerono, dan putera-puteri mereka, Widodo, Suroyo dan Tuti, berpisah dengan kami dan mereka
kembali ke Yogya.
Kemudian keluarga Angudi, keluarga besarnya dan dua
pembantu dan Ibu Salam dengan anak-anaknya dan satu pembantu terus berjalan dan
akhirnya sampai di desa Bligo, Ngluwar, di luar Daerah Istimewa Yogya tetapi masuk ke
dalam Karesidenan Kedu. Desa Bligo
terletak agak di pinggir sungai Progo dan dilewati oleh Selokan Mataram yaitu
saluran yang airnya diambil dari sungai Progo.
Di desa Bligo kami diterima dengan baik oleh seorang
petani kaya yang rumahnya besar, Pak
Mangunrejo. Kami diberi tempat beberapa kamar untuk tinggal. Pak mangunredjo tidak minta bayaran apapun. Pada hari pertama dirumah Pak mangunredjo itu kami diberi makanan ala kadarnya.
Sesudah ditahan satu bulan di Rumah tahanan Ngupasan, Pak Salam dilepaskan oleh
Belanda, berjalan kaki ke Cebongan, Kontengan, Jumeneng Alit dengan cara
bertanya kepada penduduk dan kemudian dapat
menemukan keluarganya di rumah dimana kami semua berada di Desa Bligo di rumah
Pak Mangunredjo.
(Episode berikutnya: "Diberondong Mustang P-51 dan Ditembaki Meriam, 1949" pada https://sardjono006.blogspot.com).
Sardjono Angudi
angudiwatugiri@gmail.com
14/01/2014 diperbaiki 21/02/2023
Bahan:
id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Renville;
id.wikipedia.org/wiki/Perundingan_Linggarjati
id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_I;
id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_II;