PENJAJAHAN ITU TIDAK MANUSIAWI

Selasa, 29 April 2014

DITANGKAP TENTARA BELANDA, 1948



DITANGKAP TENTARA BELANDA, 1948


 Walaupun di masa perjuangan, anak-anak di rumah di Jl. Bugisan 5 itu pernah juga dikumpulkan oleh para pelukis dan diberi bahan-bahan untuk menggambar di halaman kantor. Lukisan anak-anak dikumpulkan dan dipajang.  Beberapa tamu datang dan melihat lukisan-lukisan itu. Anak-anak merasa gembira dan bangga bahwa lukisan mereka dilihat para tamu. Pak Soerono menjelaskan lukisan itu dari segi pemikiran anak-anak kepada para tamu yang datang.

 



Gambar 1: Para pelukis mengajari anak-anak menggambar di Jl. Bugisan 5 Yogya.



Dalam tahun-tahun yang penuh ketegangan itu para seniman lukis dan karikaturis berjuang dengan caranya sendiri yang khas. Di depan Gedung Negara di Yogya tertera grafiti bagus menurut kaidah lettering yang dibuat dengan kwas dan tatabahasa  Inggris yang benar We Don’t Want to be Ruled by Any Other Nations
Tentulah seorang seniman yang tak mau dikenal yang membuatnya dan seorang politikus pejuang yang merahasiakan dirinya yang mendiktekan kalimatnya. 
Di Taman Siswa, di Jl. Bintaran Yogya ada percetakan yang dikerjakan dengan tangan. Mereka para seniman membuat koran dari kertas merang yang tipis dan mudah robek, isinya  menyemangati perjuangan. Apa boleh buat kertas apa saja dipakai untuk menggugah semangat perjuangan bangsa. Selain itu sering karikatur-karikatur Pak Salam diberikan begitu saja untuk Harian Kedaulatan Rakjat, Nasional dan Patriot yang terbit di Yogya (Blog Arswendo Atmowiloto, Tiga yang Berharga, 19/07/2007).
Pada suatu malam Minggu seperti biasanya 10 remaja belasan tahun yang menamakan dirinya Anak-anak  dari Patangpuluhan  menggelar Orkes Bambu dengan seruling bambu, bas tiup bambu, ukulele, gitar dan ketipung dengan penyanyi tercantik Isti Karniah. Anak-anak kampung lainnya menjadi penonton dengan gembira. Mereka tidak pernah menyangka bahwa besok paginya akan ada peristiwa yang sangat genting bagi negaranya.
Esok harinya pada hari Minggu tanggal  19 Desember 1948 jam 7 pagi tentara Belanda menyerbu dan menduduki Yogyakarta. Inilah yang dinamakan Agresi Militer Belanda ke-II atau Operatie Kraai.
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim dan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya ditangkap Belanda dan diasingkan. Pada serangan ini dikerahkan 432 orang dari Korps Speciale Troepen, 2600 orang dari Grup Tempur M dan 1900 orang dari Grup Tempur T dibawah pimpinan Kapt. Eckhout menyerang lapangan terbang Meguwo.
Sebanyak 128 orang pasukan Siliwangi dari 150 orang yang bertugas menjaga lapangan terbang Meguwo, kalah dalam jumlah dan kalah dalam teknologi persenjataan, gugur. Duapuluh dua lainnya tidak diketahui nasibnya.
Kalau pada Agresi  Militer Belanda ke-I Belanda melanggar Persetujuan Linggarjati, maka pada Agresi Militer ke-II ini Belanda melanggar Persetujuan Renville yang diadakan pada bulan Januari 1948 di kapal Amerika USS Renville.
Pada masa itu saya melihat kartupos Republik dengan pesan dari Jenderal Sudirman: “Pertahankan kampung  dan halaman!”
Pada hari itu juga Panglima Besar Sudirman memerintahkan Pasukan Siliwangi yang beberapa bulan sebelumnya telah hijrah dari Jawa Barat ke Yogya, untuk kembali ke daerahnya, sedangkan Jenderal Soedirman yang sedang sakit paru-paru memimpin gerilya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Hari Senen tanggal 20 Desember 1948 yaitu sehari sesudah Belanda menyerang Yogya, keluarga Pak Salam, keluarga Soerono, Oesman Effendi, Soedibjo dan keluarga besar kami mengungsi ke  Desa Cebongan masih masuk daerah Yogya di rumah pegawai bagian administrasi, Pak Kambali yang menawarkan rumahnya untuk pengungsian.
Keluarga besar kami adalah Bapak, ibu saya, dua adik saya, Isti dan Yanto, dua pembantu yang tidak sempat pulang ke desanya sehingga ikut mengungsi bersama kami, yaitu Kasijem dan Jatin. Kakek Wirjo, Bu Suwarti dan Bu Supiah juga ikut mengungsi.
Keluarga besar Pak Salam adalah Pak dan Bu Salam, Wibowo, Nani dan seorang pembantu mbok Mbok Hardjo.
Perjalanan ke Cebongan  itu menyiksa saya sebagai anak yang baru berumur delapan tahun karena panas, haus, lapar dan perjalanan yang jauh.
Perjalanan tidak langsung menuju Cebongan yaitu kearah utara, tetapi melingkar untuk menghindar dari jalan-jalan besar yang diduga telah diduduki Belanda.
Di sebelah barat Pingit kami melihat korban serangan Belanda satu hari sebelumnya yaitu dua orang yang tergeletak di jalan dengan mobil sedan hitam yang pintunya terbuka. Di sudut jalan seorang ibu membawa nangka tergelatak mati. Kami belum pernah melihat hal yang mengerikan seperti itu. Kami cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Siang harinya sekitar jam dua kami sampai di rumah Pak Kambali di Cebongan.




Gambar 2: Penangkapan Abdulsalam (pelukis), Abdullah Angudi, Osman Effendi (pelukis) dan Soedibio (pelukis) di rumah Pak  Kambali, Cebongan.
 
 Tanpa diduga-duga esok harinya empat  tentara Belanda bersenjata mitralyur, sten, karaben dan pistol datang menggerebeg kami. Pak Salam, Usman Effendi, Soedibjo, dan bapak saya, Abdullah Angudi, ditangkap Tentara Belanda. Kami anak-anak disuruh masuk rumah oleh Tentara Belanda itu. 
Pak Soerono, kakek Wirjo dan beberapa orang lainnya tidak tertangkap karena sedang mandi di sungai dekat rumah yang jembatannya sudah dihancurkan oleh TNI.
Ketika kami keluar rumah, Tentara Belanda dan tawanan mereka sudah pergi.  Kami tidak tahu dibawa kemana para tawanan itu. Karena para suami dan laki-laki-dewasa dibawa tentara Belanda, ibu-ibu dan anak-anaknya dan para pengungsi lainnya, dengan perasaan gundah, dipimpin oleh Pak Soerono satu-satunya lelaki muda, besok paginya meninggalkan Cebongan.
Kami melanjutkan perjalanan ke kampung berikutnya yaitu kampung Kontengan. Pokoknya meninggalkan Cebongan saja. Kami tidak tahu arah tujuannya dan apa yang akan  menimpa.
Ibu saya tidak mempunyai apa-apa kecuali perhiasan emas yang disimpan dijahit di ikat pinggang wanita (stagen, Jw) sebagai bekal. Di Kontengan kami mendapati beberapa rumah reyot dengan dinding bambu lapuk yang berlubang sebagai tempat kami berteduh. Rumah reyot itu adalah gudang tempat penyimpanan gula pasir milik tengkulak. Angin malam bertiup menembus dinding. Udara sangat dingin.
Sementara itu Pak Salam dan Bapak dibawa dengan truk  dari Pabrik Gula Cebongan yang menjadi markas Belanda ke Rumah Tahanan Ngupasan di belakang Gedung Negara di kota Yogya. Pada perjalanan diwaktu pagi  itu pasukan Belanda  tidak diserang oleh gerilyawan TNI.
Selama interogasi berhari-hari dalam tahanan, Belanda tidak menemukan bukti-bukti bahwa Pak Salam dan Bapak adalah gerilyawan, sehingga mereka lepas dari nasib yang lebih buruk. Untungnya Belanda juga tidak mengetahui bahwa Bapak adalah orang yang dicari intel militer IVG di Temanggung karena melakukan pembumihangusan bersama TNI.
Bisa jadi juga dalam interogasi selama satu minggu itu Bapak tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang Temanggung, seandainya hal ini terungkap niscaya Bapak akan dihabisi. Di Ngupasan itu Bapak milihat Walikota Yogyakarta, Bapak Soedarisman Poerwokoesoemo, yang juga ditangkap oleh Belanda.
Sesudah satu minggu Bapak dilepaskan oleh Belanda dan Bapak berjalan menuju Cebongan mencari kemana kami  mengungsi.
Berjalan kaki dari Rumah Tahanan Ngupasan ke luar kota melalui jalan-jalan yang asing yang belum pernah dilaluinya, sangatlah menakutkan. Tidak ada orang yang berkerja disawah ataupun lalu lalang. Sialnya dalam perjalanan ke Cebongan itu, Bapak kepergok tentara Belanda yang sedang patroli di pedesaan.  Bapak akan ditawan lagi. Bapak menjelaskan bahwa Bapak baru dilepas dari Rumah Tahanan Ngupasan. Setelah tentara Belanda itu menanyakan Rumah Tahanan Ngupasan melalui radio apakah benar ada nama Angudi yang baru dibebaskan, tentara Belanda itu membolehkan Bapak pergi. 







Gambar 3: Tentara Belanda menembak mati Menteri Pembangunan dan Pemuda, Soepeno

 
 
Saat seperti itu adalah hal yang mengerikan. Bapak tahu bahwa adik iparnya, Adi, ditangkap Belanda, disuruh pergi dan ditembak dari belakang. 
Dalam masa Perang Kemerdekaan II ini pula, Menteri Pemuda dan Pembangunan, yaitu menteri yang membawahi para pelukis di Jl. Bugisan, tertangkap oleh Tentara Belanda dan ditembak mati. Nama Menteri Soepeno  diabadikan sebagai nama jalan di Semarang, Yogyakarta dan kota lainnya. 
Bahaya lainnya adalah bahwa gerilyawan Indonesia mencurigai semua orang yang datang dari kota ke desa sebagai mata-mata Belanda. Mata-mata Belanda sering ke desa-desa untuk mengetahui pergerakan TNI. Mereka sering berpura-pura sebagai pedagang kelontong eceran dari kota dan masuk kepasar  yang dibuka seminggu sekali.
Sesudah kepergok patroli Belanda, Bapak masuk ke daerah Republik. Di daerah Republik Bapak ditanya oleh pasukan gerilya yang berjaga di situ, apa yang Bapak bicarakan dengan tentara Belanda tadi. Rupanya para gerilyawan mengintai patroli Belanda dari kejauhan. Bapak menjelaskan kepada TNI bahwa Bapak adalah pengungsi yang tertangkap Belanda di Cebongan dan lalu dibawa dan ditahan di Rumah Tahanan Ngupasan di kota Yogya, lalu dilepaskan dan sekarang akan mencari keluarganya.
Pasukan TNI percaya akan keterangan Bapak dan para gerilyawan membolehkan Bapak  untuk meneruskan perjalanannya  mencari kami. Seandainya TNI tidak percaya dan menganggap keterangan Bapak hanya cerita buatan, Bapak dapat dengan mudah dihabisi.
Perjalanan dari Ngupasan ke Cebongan, selain berbahaya, juga tidak melalui jalan-jalan yang biasa dilalui tetapi melalui jalan-jalan desa yang Bapak belum tahu arahnya. Karena itu Bapak harus  bertanya kepada rakyat desa kemana arah Cebongan, itupun kalau kebetulan ada yang bisa diajak bicara. Semua takut berhubungan dengan orang asing yang melewati desanya.
Bapak dapat sampai ke Cebongan dengan cara sering bertanya kepada penduduk desa yang dilewatinya mana arah ke Cebongan. Selain itu juga menanyakan apakah orang melihat pengungsi dengan ciri-ciri dan jumlah rombongan kami.  
Perintah Jenderal Sudirman kepada Divisi Siliwangi untuk kembali ke Jawa Barat tidak dapat dilakukan sekaligus dalam waktu yang segera, karena anggota pasukan Siliwangi  yang berada di Yogya bersama  keluarga mereka terpisah-pisah dibanyak tempat di rumah rakyat dan di gedung-gedung pemerintah sehingga komunikasi diantara anggotanya untuk menentukan tempat dan waktu berangkat  bersama harus dilakukan dari mulut ke mulut untuk menjaga rahasia. Itulah sebabnya pada bulan Januari 1949 masih ada sebagian anggota Divisi Siliwangi yang bergerak ke barat walaupun perintah Jenderal Sudirman dilakukan pada tanggal 19 Desember 1948.
Akhirnya ayah saya dapat menemukan rombongan kami di kampung Kontengan. Dari Kontengan kami berjalan ke Jumeneng Alit.
Di Jumeneng Alit sore hari, saya berkawan dengan anak desa seorang gembala kerbau. Ketika kami sedang memandikan kerbau, tiba-tiba kami berdua berada ditengah pertempuran antara TNI dan Belanda. Kami berlari meninggalkan kerbau dan berjongkok di tengah rumpun bambu. TNI yang berlarian melompati kepala kami. Tembakan sahut menyahut. Batang bambu  yang terkena peluru patah dan rebah. Ketika saya pulang saya dimarahi ayah yang kewatir karena saya bermain terlalu jauh. Bila ada pertempuran yang lebih gawat ada kemungkinan saya terpisah dengan keluarga, itulah sebabnya Bapak marah.
Di Jumeneng Alit sesudah menginap satu malam, melihat bahwa pengungsian tidak diketahui sampai kapan akan berakhirnya dan simpanan bekal menipis, Pak dan Bu Soerono, dan putera-puteri mereka, Widodo, Suroyo dan Tuti,  berpisah dengan kami dan  mereka kembali ke Yogya.
Kemudian keluarga Angudi, keluarga besarnya dan dua pembantu dan Ibu Salam dengan anak-anaknya dan satu pembantu terus berjalan dan akhirnya sampai di desa Bligo, Ngluwar, di luar Daerah Istimewa Yogya tetapi masuk ke dalam Karesidenan Kedu. Desa  Bligo terletak agak di pinggir sungai Progo dan dilewati oleh Selokan Mataram yaitu saluran yang airnya diambil dari sungai Progo.
Di desa Bligo kami diterima dengan baik oleh seorang petani kaya yang rumahnya  besar, Pak Mangunrejo. Kami diberi tempat  beberapa kamar untuk tinggal. Pak mangunredjo tidak minta bayaran apapun. Pada hari pertama dirumah Pak mangunredjo itu kami diberi makanan ala kadarnya.
Sesudah ditahan satu bulan di Rumah tahanan Ngupasan, Pak Salam dilepaskan oleh Belanda, berjalan kaki ke Cebongan, Kontengan, Jumeneng Alit dengan cara bertanya kepada penduduk dan  kemudian dapat menemukan keluarganya di rumah dimana kami semua berada di Desa Bligo di rumah Pak Mangunredjo.

(Episode berikutnya: "Diberondong Mustang P-51 dan Ditembaki Meriam, 1949" pada https://sardjono006.blogspot.com).

Sardjono Angudi
angudiwatugiri@gmail.com
14/01/2014 diperbaiki 21/02/2023

Bahan:
id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Renville; id.wikipedia.org/wiki/Perundingan_Linggarjati
id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_I; id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_II;